Selasa, 12 Juli 2011

STIGMA BURUK MASYARAKAT TENTANG HIV/AIDS

A
cquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.  Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Terkadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
Stigma di Masyarakat tentang HIV/AIDS
HIV/AIDS, sebuah kasus yang tidak lagi menjadi makanan baru bagi masyarakat Indonesia. Layaknya penyakit kejadian luar biasa yang menjadi perhatian akhir-akhir ini, kasus HIV/AIDS yang pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1987 juga menjadi suatu hal yang menggemparkan dan fenomenal di masyarakat. Ironinya, iklim kegemparan HIV/AIDS tidak menjadikan suatu motivasi bagi masyarakat untuk menanggulangi penyebaran wabah ini di Indonesia. Kegemparan tersebut justru melahirkan stigma di masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS atau yang biasa dikenal dengan istilah ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).

            Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya[1]. Stigma terhadap ODHA dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan penderita HIV/AIDS meliputi masyarakat dan media massa, sedangkan faktor internal adalah faktor yang berasal dari penderita itu sendiri. Kedua faktor tersebut interdependen, dalam arti baik faktor dari masyarakat, media massa, maupun pribadi saling mempengaruhi satu sama lain.
Stigma dari masyarakat muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS secara menyeluruh. Masyarakat mengetahui HIV/AIDS sebatas “penyakit ini menular dan penderitanya berbahaya”. Masyarakat boleh jadi telah mengenal atau mengetahui bahwa terdapat penyakit menular yang disebut HIV/AIDS dan telah mewabah di Indonesia, namun sebagian besar masyarakat masih belum memahami secara benar faktor penyebaran dan cara penanggulangannya. Adanya ketidakpahaman ini menyebabkan timbulnya sikap over protective terhadap ODHA, seperti diskriminasi dengan tidak mau bergaul dengan ODHA dan stigma bahwa penderita HIV harus dihindari.
Pemahaman yang setengah-setengah dan tidak menyeluruh tersebut timbul karena adanya disfungsi media massa. Media massa yang merupakan sumber informasi bagi masyarakat masih memberikan informasi yang kurang jelas. Pemberitaan yang muncul lebih didominasi bahaya HIV/AIDS dibandingkan upaya untuk mencegah penyebarannya. Adanya pemberitaan yang kurang lengkap ini menyebabkan masyarakat melakukan interpretasi yang salah dalam menyikapi kasus HIV/AIDS. Dampak lebih lanjut dari pemberitaan media massa yang kurang menyeluruh ini menyebabkan masyarakat terpengaruh secara mental untuk mendiskriminasikan penderita HIV/AIDS.
               Munculnya stigma di masyarakat diperkuat dengan perilaku yang timbul dari ODHA yang diakibatkan oleh masalah psikososial. Ketidakmampuan beradaptasi penderita HIV/AIDS terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya dapat mengakibatkan stress, frustasi sampai ke tingkat depresi[2]. Dampak tersebut dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengalaman dan keterampilan dokter yang melakukan kontak langsung dengan ODHA sehingga dokter kurang tepat dalam mengkomunikasikan berita tersebut kepada ODHA[3]. Segala macam faktor psikososial ini memperngaruhi tingkah laku ODHA sehingga mereka cenderung memilih untuk menutup diri dari masyarakat. Hal tersebut justru menambah stigma masyarakat dan memicu diskriminasi terhadap ODHA.
Stigma yang makin lama makin menguat tersebut memberikan dampak yang semakin buruk bagi ODHA. Masyarakat justru tergiring untuk mendiskriminasikan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fakta dapat kita lihat di masyarakat seperti pemecatan ODHA dari perusahaan. Sebenarnya tindakan ini menyalahi Keputusan Menakertrans No 68/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Kejadian yang cukup ironi juga terjadi di rumah sakit yang mana seharusnya rumah sakit adalah tempat acuan untuk mengambil sikap terhadap ODHA. Seperti pengakuan salah seorang teman penderita HIV/AIDS di Malang, Jawa Timur yang dikutip dari health.groups.yahoo.com, teman yang menderita HIV/AIDS tersebut ingin melakukan operasi penyakit namun ditolak oleh pihak rumah sakit karena ketidaksanggupan dokter dan pihak rumah sakit untuk mengganti peralatan rumah sakit yang digunakan dalam operasi. Secara implisit hal ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap ODHA.
Menyikapi kuatnya stigma dan diskriminasi dikarenakan kurang mengertinya masyarakat tentang penularan HIV/ AIDS, maka diperlukan adanya regulasi yang kuat. Pemerintah, LSM, dan aktivis AIDS hendaknya bekerja sama sebagai suatu sistem yang sinergis untuk menanggulangi kasus HIV/AIDS. Sistem tersebut bekerja sama mencerdaskan masyarakat secara menyeluruh mengenai HIV/AIDS mulai dari faktor penyebaran, dampak, cara untuk menanggulangi, dan sikap yang tepat dalam menyikapi HIV/AIDS.
Paradigma masyarakat yang salah tentang HIV/AIDS sesegara mungkin harus diubah. Selama ini masyarakat menjauhi ODHA karena tidak mengetahui cara penularan HIV/AIDS. Pada dasarnya terdapat tiga jalur utama penularan HIV/AIDS. Penularan pertama yaitu melalui hubungan seksual. Apabila salah satu pasangan mengidap HIV/AIDS maka secara otomatis HIV/AIDS akan menular pada pasangan seksnya. Salah satu faktor pemungkin mewabahnya HIV/AIDS yaitu makin bertambahnya jumlah penjaja seks dan pelanggannya. Dalam kaitannya dengan hal ini, pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan upaya penanggulangan wabah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. Pemerintah perlu membuat regulasi yang tegas untuk mengamankan perilaku berisiko tinggi tersebut dengan sosialisasi secara masif penggunaan kondom atau menutup praktik penjaja seks itu sendiri. Penularan yang kedua yaitu melalui darah yang terinfeksi HIV. Darah penderita HIV dapat ditularkan melalui transfusi darah, alat-alat bedah, jarum suntik, alat cukur, dan alat-alat lain yang memungkinkan adanya kontak darah. Dalam hal ini perlu adanya pengawasan yang cermat oleh PMI sebagai salah satu pihak yang mengelola proses transfusi darah dan juga pelayanan kesehatan lain seperti puskemas dan rumah sakit untuk mengindari adanya kontak darah. Pengawasan juga dilakukan terhadap alat-alat kesehatan yang digunakan untuk menghindari penggunaan alat tersebut lebih dari satu kali. Penularan ketiga yaitu melalui ibu yang mengidap HIV. Seorang ibu yang mengidap HIV/AIDS dapat menularkan HIV/AIDS kepada bayinya melalui plasenta.
               Untuk mensosialisasikan hal tersebut, perlu adanya Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA). Upaya penanggulangan HIV/AIDS tidak cukup hanya dengan penyuluhan secara sporadis dan insidental saja, namun perlu adanya gerakan nasional dengan mengerahkan segala sistem yang ada pada masyarakat untuk mendukung pengentasan HIV/AIDS di Indonesia. Dengan adanya Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA) yang berkelanjutan diharapkan mampu menyedot perhatian masyarakat sehingga penanggulan HIV/AIDS dapat berjalan dengan maksimal.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, salah satu subjek yang harus berperan aktif adalah media massa. Media massa diharapkan mampu memberikan informasi yang up to date kepada masyarakat, tidak hanya mengenai bahaya tetapi juga tentang penularan hingga pengobatan. Tentunya dalam menjalankan peran ini media massa harus memperhatikan kode etik pers yang berlaku. Tanggung jawab etik pers dalam liputan HIV/AIDS akan menyangkut sejauh mana liputan tersebut tidak terjerembab pada sensasionalisme, vulgarisme, dan stigmatisasi, dan berita yang tidak proporsional yang dengan mudah akan menimbulkan “kepanikan sosial”[4]. Media massa baik cetak maupun elektronik sedapat mungkin menghindari pemberitaan yang cenderung bersifat sensasional dan vulgar demi mengurangi stigma dan diskriminasi yang muncul dari masyarakat.
Adanya sensasionalisme, vulgarisme, dan stigmatisasi dalam liputan HIV/AIDS boleh jadi diakibatkan kurangnya keterampilan professional dari dalam tubuh media massa[5]. Untuk menyikapi hal tersebut, maka diperlukan adanya spesialisasi dan profesionalisme dalam media massa khususnya dalam bidang kesehatan. Wartawan maupun pekerja pers haruslah memahami seluk beluk HIV/AIDS sehingga dapat mentransfer informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat serta menghindari pemberitaan yang bersifat dugaan dan prasangka. Di samping itu, perlu diperhatikan pula pemberitaan dari sudut pandang penderita HIV/AIDS. Hal ini bertujuan untuk mengurangi sensasionalisme dan vulgarisme sehingga mampu mencegah munculnya stigma dan diskriminasi dalam masyarakat.
                   Salah satu fungsi media massa yaitu sebagai sarana pendidikan, tentunya harus diterapkan dalam pengentasan HIV/AIDS. Media massa diharapkan mampu mengurangi gap antara informasi kesehatan dengan perilaku yang ada di masyarakat. Melalui Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA), optimalisasi peran media massa dapat ditingkatkan. Setiap aspek media massa, baik cetak maupun elektronik, memiliki trik dan teknik tersendiri dalam pemberian informasi kepada masyarakat sehingga informasi tersebut tetap efektif untuk mencerdaskan masyarakat. Salah satu faktor yang perlu digarisbawahi yaitu kejelasan sasaran program intervensi tersebut. Media massa diharapkan tidak hanya menjangkau masyarakat yang melakukan perilaku berisiko saja seperti penjaja seks dan pelanggannya, namun juga seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya pencerdasan mengenai fenomena HIV/AIDS, stigma dan diskriminasi terhadap ODHA diharapkan dapat lenyap dan tergantikan oleh dukungan penuh dalam pengentasan HIV/AIDS.
Peran media massa tentu tidaklah menjadi sesuatu yang berarti jika tidak mendapatkan dukungan yang penuh dari pemerintah. Dikeluarkannya Kep. Pres RI Nomor 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS membuktikan bahwa pemerintah turut pula berupaya dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Namun, pembentukan KPA di tingkat nasional maupun daerah saja dirasa tidaklah cukup. Perlu adanya badan independen semacam komisi khusus untuk melayani konsultasi penderita HIV/AIDS. Komisi ini diharapkan mampu menampung dan mengcover setiap permasalahan yang dirasakan oleh ODHA dalam kaitannya dengan kondisi psikososial mereka. Komisi ini harus mampu bertindak proaktif dan tidak hanya sekedar reaktif dalam mendampingi ODHA. Tujuan komisi ini terpesifikasi khusus sebagai biro konseling yaitu memberikan pelayanan, konsultasi psikologis, dan memotivasi proses perawatan HIV/AIDS. Dengan begitu, ODHA diharapkan dapat semakin membuka diri pada masyarakat dan memacu dirinya sendiri untuk dapat keluar dari stigma dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat.
Penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA merupakan salah satu bagian terpenting dalam Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA). Dengan penghapusan stigma dan diskriminasi, proses preventif dan kuratif terhadap kasus HIV/AIDS menjadi lebih optimal. Untuk itu diperlukan adanya kerja sama yang terus menerus dari masyarakat, media massa, pemerintah, dan ODHA secara sistematis untuk menyukseskan Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA) sehingga dapat menghilangkan stigma dan diskriminasi dan pada tujuan akhirnya mengentaskan Indonesia dari intaian wabah HIV/AIDS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar