Minggu, 24 Juli 2011

Memberi dan menerima feedback

Memberi dan menerima feedback

Feedback
Memberi dan menerima feedback (sebagian fasilitator lebih suka istilah feedforward atau umpan untuk maju) adalah kemampuan dasar yang mesti dimiliki anggota kelompok. Dengan kemampuan itu, proses bekerja dalam kelompok/ organisasi bisa dilakukan secara partisipatif atau demokratis.
Banyak feedback belum tentu berarti dinamika yang positif. Karena, cara yang salah dalam memberi atau menerimafeedback justru akan membuat kelompok/ organisasi goyah atau berantakan karena konflik. Di sini, fasilitator dapat membantu anggota kelompok/ organisasi memahami dan mengaplikasikan prinsip/ teknik dalam memberi dan menerima feedback yang konstruktif seperti dipaparkan sbb.
Memberi feedback
  • Deskriptif, bukan evaluatif”Apa yang Anda bicarakan adalah ngawur!”
    ”Apa yang Anda sampaikan berbeda dengan tujuan diskusi ini.”
”Performa kelompok ini buruk sekali!”
”Kelompok ini memproduksi 10 unit, sementara kelompok lain memproduksi 15”
Feedback yang evaluatif cenderung mengganggu emosi penerima ketimbang memberi ide yang dapat dipikirkan dan ditindaklanjuti. Dengan memberi feedback yang deskriptif, kita juga sebetulnya menghindari pelabelan yang dapat membuat penerima menolak karena terhina, bukan karena ide kita buruk.
”Kamu kok malas”
”Tiga pertemuan terakhir, kamu datang 15 menit setelah acara dimulai”
Juga menghindari kesan blaming pada orang.
”Ini gara-gara kamu sih!”
”Keterlambatan produksi terjadi karena input dari kelompok kamu
 datang 10 menit darideadline.
  • Spesifik
    ”Laporan ini bagus sekali”

    ”Laporan ini memiliki sejumlah grafik yang membantu saya memahami dengan cepat isi laporan.
     Bagus sekali!”Orang tidak mungkin beraksi secara tepat bila menerima feedback yang tidak jelas. Lebih spesifik lebih bagus
  • Apresiatif. Kadang kita hanya fokus pada hal yang perlu diperbaiki, tapi lupa hal yang perlu dipertahankan. Ungkap pula hal positif agar performa dari orang bertahan dan meningkat.
  • Sesegera mungkin. Jangan menunda. Feedback yang diberikan terlalu lama akan membuat orang terlambat memperbaiki diri. Meski disarankan sesegera mungkin, namun perhatikan pula kondisi emosi si penerima. Bila calon penerima sedang tidak dalam mood yang tepat, ada baiknya fasilitator menunggu sebentar untuk waktu yang tepat atau bahkan membuat sessi singkat untuk bina suasana terlebih dahulu.
  • Sebelum memberi feedback, boleh juga minta klarifikasi. Adakalanya kita perlu meminta klarifikasi sebelum menyampaikan feedback. Meminta klarifikasi penting karena beberapa hal 1) agar kita bisa memberi feedback yang akurat, 2) memberi konteks yang jelas padafeedback yang ingin kita sampaikan, dan 3) membantu penerima dalam memahamifeedback kita.”Anda melakukan itu dengan tujuan…., betul apa yang saya tangkap? Nah, menurut saya….”
  • Gunakan bahasa pengganti orang yang tepat. Kalau memang feedback itu berasal dari Anda sendiri, maka nyatakan: “Menurut saya….” Namun, bila sudah ada kesepakatan kelompok, maka sampaikan “Menurut kami…” Jangan mengatakan menurut kita/ kami ketika sumbernya adalah anda sendiri. Kata pengganti orang yang tepat memberikan kejelasan tentang siapa yang memberi umpan balik.
  • Minta klarifikasi setelah memberi. Khususnya bila pemberi feedback ingin meminta tanggapan/ tindak lanjut dari penerima, ada baiknya pemberi memastikan bahwafeedbacknya dipahami secara akurat. Anda bisa bertanya, ”Apakah masukan saya mudah untuk dipahami?”
  • Beri alternatif solusi. Ingat feedback itu disampaikan untuk kemajuan bersama dan bukan bertujuan untuk menguji atau mengetest seseorang apalagi membuat Anda terlihat hebat. Karenanya, bila Anda tahu ada alternatif-alternatif solusi, maka sampaikan pula dengan jelas dan terbuka. Jangan menunggu penerima feedback untuk berpikir sementara Anda menikmati posisi Anda.
Menerima feedback
  • Dengarkan secara aktif. Gunakan teknik-teknik mendengar aktif. Dengarkan tanpa prasangka, ikuti sambil tandai, khususnya, hal-hal yang menurut Anda belum jelas/ terlalu umum.
  • Tanyakan hal-hal yang belum jelas. Jangan langsung menjawab bila Anda belum paham betul. Tanyakan saja hal-hal yang Anda temukan sewaktu mendengar aktif.
  • Jangan difensif. Tidak ada gunanya berlaku defensif. Anda bisa saja salah, jadi dari pada membuang masukan yang berharga. Dengarkan dan bersikaplah terbuka.
  • Berterimakasihlah. Pahami bahwa orang memberi feedback dengan usaha dan berniat untuk kemajuan Anda. Jadi, hargai usaha mereka, berterimakasihlah.

5 Hukum Komunikasi Yang Efektif

5 Hukum Komunikasi Yang Efektif

5 Hukum Komunikasi Yang Efektif (The 5 Inevitable Laws of Efffective Communication) yang kami kembangkan dan rangkum dalam satu kata yang mencerminkan esensi dari komunikasi itu sendiri yaitu REACH, yang berarti merengkuh atau meraih. Karena sesungguhnya komunikasi itu pada dasarnya adalah upaya bagaimana kita meraih perhatian, cinta kasih, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain.


Komunikasi
Hukum # 1: Respect
Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi yang efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan.

Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Ingatlah bahwa pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita bahkan harus mengkritik atau memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaaan seseorang. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita dapat membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim.
Bahkan menurut mahaguru komunikasi Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and Influence People, rahasia terbesar yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam berurusan dengan manusia adalah dengan memberikan penghargaan yang jujur dan tulus. Seorang ahli psikologi yang sangat terkenal William James juga mengatakan bahwa "Prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai." Dia mengatakan ini sebagai suatu kebutuhan (bukan harapan ataupun keinginan yang bisa ditunda atau tidak harus dipenuhi), yang harus dipenuhi. Ini adalah suatu rasa lapar manusia yang tak terperikan dan tak tergoyahkan. Lebih jauh Carnegie mengatakan bahwa setiap individu yang dapat memuaskan kelaparan hati ini akan menggenggam orang dalam telapak tangannya. 
Charles Schwabb, salah satu orang pertama dalam sejarah perusahaan Amerika yang mendapat gaji lebih dari satu juta dolar setahun, mengatakan bahwa aset paling besar yang dia miliki adalah kemampuannya dalam membangkitkan antusiasme pada orang lain. Dan cara untuk membangkitkan antusiasme dan mendorong orang lain melakukan hal-hal terbaik adalah dengan memberi penghargaan yang tulus. Hal ini pula yang menjadi satu dari tiga rahasia manajer satu menit dalam buku Ken Blanchard dan Spencer Johnson, The One Minute Manager.
Hukum # 2: Empathy
Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain.
Secara khusus Covey menaruh kemampuan untuk mendengarkan sebagai salah satu dari 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti (Seek First to Understand -
understand then be understood to build the skills of empathetic listening that inspires openness and trust). Inilah yang disebutnya dengan Komunikasi Empatik. Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain.
Rasa empati akan memampukan kita untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Oleh karena itu dalam ilmu pemasaran (marketing) memahami perilaku konsumen (consumer's behavior) merupakan keharusan. Dengan memahami perilaku konsumen, maka kita dapat empati dengan apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, minat, harapan dan kesenangan dari konsumen. Demikian halnya dengan bentuk komunikasi lainnya, misalnya komunikasi dalam membangun kerjasama tim. Kita perlu saling memahami dan mengerti keberadaan orang lain dalam tim kita. Rasa empati akan menimbulkan respek atau penghargaan, dan rasa respek akan membangun kepercayaan yang merupakan unsur utama dalam membangun teamwork.
Jadi sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita. Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima.
Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan ataupun umpan balik apapun dengan sikap yang positif. Banyak sekali dari kita yang tidak mau mendengarkan saran, masukan apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan. Oleh
karena itu dalam kegiatan komunikasi pemasaran above the lines (mass media advertising) diperlukan kemampuan untuk mendengar dan menangkap umpan balik dari audiensi atau penerima pesan.
Hukum # 3: Audible
Makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau delivery channel sedemikian hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Hukum ini mengacu pada kemampuan kita untuk menggunakan berbagai media maupun perlengkapan atau alat bantu audio visual yang akan membantu kita agar pesan yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik. Dalam komunikasi personal hal ini berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara atau sikap yang dapat diterima oleh penerima pesan.
Hukum # 4: Clarity 
Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Ketika saya bekerja di Sekretariat Negara, hal ini merupakan hukum yang paling utama dalam menyiapkan korespondensi tingkat tinggi.
Karena kesalahan penafsiran atau pesan yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana.
 
Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan atau anggota tim kita. Karena tanpa keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan menurunkan semangat dan antusiasme kelompok atau tim kita.
Hukum # 5: Humble
Hukum kelima dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah
hati yang kita miliki. Dalam edisi Mandiri 32 Sikap Rendah Hati pernah kita bahas, yang pada intinya antara lain: sikap yang penuh melayani (dalam bahasa pemasaran Customer First Attitude), sikap menghargai, mau mendengar
dan menerima kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar.
Jika komunikasi yang kita bangun didasarkan pada lima hukum pokok komunikasi yang efektif ini, maka kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal dan pada gilirannya dapat membangun jaringan hubungan dengan orang lain yang penuh dengan penghargaan (respect), karena inilah yang dapat membangun hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan dan saling menguatkan.

Selasa, 12 Juli 2011

UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagiperseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati.
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika didalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korbanyang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama - sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika.
Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota. Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional. Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
 (B.Styawan)

Hilangkan Diskriminasi Terhadap Penderita HIV AIDS

HILANGKAN DISKRIMINASI TERHADAP 
PENGIDAP HIV/AIDS
HIV/AIDS sama dengan penyakit lainnya sehingga tidak perlu adanya perbedaan terhadap pengidapnya. Penyakit ini bisa menyerang semua orang, termasuk ibu rumah tangga dan anak – anak. Diskriminasi tidak akan menyelesaikan masalah justru malah akan menambah beban bagi pengidapnya. Istilah nya “ Dengan membantu orang lain berarti membantu diri sendiri. “






M
engapa di Negeri tercinta ini, masih kita temukan terjadinya diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS? Hal ini mungkin terjadi karena masih kuatnya stereotip atau stigma di masyarakat bahwa penyakit itu terjadi akibat perilaku menyimpang yang dilakukan orang – orang yang tidak baik. Sehingga menyebabkan pengidap HIV/AIDS tidak bisa bekerja lagi padahal kemampuan mereka bagus, tetapi terhambat oleh stigma masyarakat.
Pada setiap tanggal 1 Desember diadakan peringatan Hari AIDS Sedunia. Hal ini diadakan agar kita ikut peduli terhadap pengidap HIV/AIDS, sehingga dapat menghilangkan stigma negative terhadap orang dengan pengidap HIV/AIDS serta agar diberikannya akses social yang sama kepada mereka.
“ Banyak ODHA meninggal jstru karena tidak punya akses social atau di kucilkan dan di diskriminasi di semua hal. Meskipun kondisi fisik ODHA terus di jaga dengan obat – obatan, tetapi kalau kondisi mental nya dilemahkan dengan pengucilan dan diskriminasi, sama saja pengobatan itu tidak ada gunanya. Bagi Pengidap HIV/AIDS, beban paling berat yang dirasakan adalah Stigma negative yang dilekatkan kepada mereka”
Salah satu upaya untuk menghilangkan stigma tersebut adalah dengan mengikuti kisah perjalanan hidup orang dengan pengidap HIV/AIDS. Mendengarkan berbagai informasi seputar penularan HIV/AIDS dan pesan – pesan untuk menghapus stigma negative tersebut. Hal ini tentu saja membutuhkan kerja sama dari berbagai unsur di masyarakat. Tidak hanya berupa informasi saja, tetapi membutuhkan afeksi dan empati masyarakat.

“ MARI Bersama – Sama  Kita Menaggulangi HIV/AIDS dan STOP AIDS!”
Keep Promise, Take The Lead





SEJARAH HARI AIDS SEDUNIA 1 DESEMBER

SEJARAH HARI AIDS SEDUNIA 1 DESEMBER

Add caption
Hari AIDS Sedunia pertama kali dicetuskan pada Agustus 1987 oleh James W. Bunn dan Thomas Netter, dua pejabat informasi masyarakat untuk Program AIDS Global di Organisasi Kesehatan Sedunia di Geneva, Swiss. Bunn dan Netter menyampaikan ide mereka kepada Dr. Jonathan Mann, Direktur Program AIDS Global (kini dikenal sebagai UNAIDS). Dr. Mann menyukai konsepnya, menyetujuinya, dan sepakat dengan rekomendasi bahwa peringatan pertama Hari AIDS Sedunia akan diselenggarakan pada 1 Desember 1988.
Bunn menyarankan tanggal 1 Desember untuk memastikan liputan oleh media berita barat, sesuatu yang diyakininya sangat penting untuk keberhasilan Hari AIDS Sedunia. Ia merasa bahwa karena 1988 adalah tahun pemilihan umum di AS, penerbitan media akan kelelahan dengan liputan pasca-pemilu mereka dan bersemangat untuk mencari cerita baru untuk mereka liput. Bunn dan Netter merasa bahwa 1 Desember cukup lama setelah pemilu dan cukup dekat dengan libur Natal sehingga, pada dasarnya, tanggal itu adalah tanggal mati dalam kalender berita dan dengan demikian waktu yang tepat untuk Hari AIDS Sedunia.
Bunn, yang sebelumnya bekerja sebagai reporter yang meliput epidemi ini untuk PIX-TV di San Francisco, bersama-sama dengan produsennya, Nansy Saslow, juga memikirkan dan memulai "AIDS Lifeline" ("Tali Nyawa AIDS") - sebuah kampanye penyadaran masyarakat dan pendidikan kesehatan yang disindikasikan ke berbagai stasiun TV di AS. "AIDS Lifeline" memperoleh Penghargaan Peabody, sebuah Emmy lokal, dan Emmy Nasional pertama yang pernah diberikan kepada sebuah stasiun lokal di AS.
Pada 18 Juni 1986, sebuah proyek "AIDS Lifeline" memperoleh penghargaan "Presidential Citation for Private Sector Initiatives", yang diserahkan oleh Presiden Ronald Reagan. Bunn kemudian diminta oleh Dr. Mann, atas nama pemerintah AS, untuk mengambil cuti dua tahun dari tugas-tugas pelaporannya untuk bergabung dengan Dr. Mann (seorang epidemolog untuk Pusat Pengendalian Penyakit) dan membantu untuk menciptakan Program AIDS Global. Bunn menerimanya dan diangkat sebagai Petugas Informasi Umum pertama untuk Pgoram AIDS Global. Bersama-sama dengan Netter, ia menciptakan, merancang, dan mengimplementasikan peringatan Hari AIDS Sednia pertama - kini inisiatif kesadaran dan pencegahan penyakit yang paling lama berlangsung dalam jenisnya dalam sejarah kesehatan masyarakat.)
Program Bersama PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS) mulai bekerja pada 1996, dan mengambil alih perencanaan dan promosi Hari AIDS Sedunia. Bukannya memusatkan perhatian pada satu hari saja, UNAIDS menciptakan Kampanye AIDS Sedunia pada 1997 untuk melakukan komunikasi, pencegahan dan pendidikan sepanjang tahun.
Pada dua tahun pertama, tema Hari AIDS Sedunia dipusatkan pada anak-anak dan orang muda. Tema-tema ini dikiritk tajam saat itu karena mengabaikan kenyataan bahwa orang dari usia berapapun dapat terinfeksi HIV dan menderita AIDS. Tetapi tema ini mengarahkan perhatian kepada epidemi HIV/AIDS, menolong mengangkat stigma sekitar penyakit ini, dan membantu meningkatkan pengakuan akan masalahnya sebagai sebuah penyakit keluarga.
Pada 2004, Kampanye AIDS Sedunia menjadi organisasi independen.
Sejak dibentuknya hingga 2004, UNAIDS memimpin kampanye Hari AIDS Sedunia, memilih tema-tema tahunan melalui konsultasi dengan organisasi-organisasi kesehatan global lainnya.

Sejak 2008, tema Hari AIDS Sedunia dipilih oleh Komite Pengarah Global Kampanye Hari AIDS Sedunia setelah melalui konsultasi yang luas dengan banyak pihak, organisasi dan lembaga-lembaga pemerintah yang terlibat dalam pencegahan dan perawatan korban HIV/AIDS. Untuk setiap Hari AIDS Sedunia dari 2005 hingga 2010, temanya adalah "Hentikan AIDS, Jaga Janjinya", dengan sebuah sub-tema tahunan.[3] Tema payung ini dirancang untuk mendorong para pemimpin politik untuk memegang komitmen mereka untuk menghasilkan akses sedunia kepada pencegahan, perawatan, pemeliharaan, dan dukungan terhadap penyakit dan para korban HIV/AIDS pada tahun 2010.

Tema ini tidaklah spesifik bagi Hari ADIS Sedunia, melaiinkan digunakan sepanjang tahun dalam upaya-upaya Kampanye AIDS Sedunia untuk menyoroti kesadaran HIV/AIDS dalam konteks peristiwa-peristiwa global lainnya termasuk Pertemuan Puncak G8. Kampanye ADIS Sedunia juga menyelenggarakan kampanye-kampanye di masing-masing negara di seluruh dunia, seperti Kampanye Mahasiswa Menghentikan AIDS, sebuah kampanye untuk menularkan kesadaran kepada orang-orang muda di seluruh Britania Raya.
Tema Hari AIDS Sedunia 1988 - sekarang[6]
1988
Komunikasi
1989
Pemuda
1990
Wanita dan AIDS
1991
Berbagi Tantangan
1992
Komitmen Masyarakat
1993
Saatnya Beraksi
1994
AIDS dan Keluarga
1995
Hak Bersama, Tanggung jawab Bersama
1996
Satu Dunia. Satu Harapan
1997
Anak-anak yang Hidup dalam Dunia dengan AIDS
1998
Kekuatan Menuju Perubahan: Kampanye AIDS Sedunia Bersama Orang Muda
1999
Dengarkan, Pelajari, Hidupi: Kampanye AIDS Sedunia dengan Anak-anak dan Orang Muda
2000
AIDS: Laki-laki Menciptakan Perbedaan
2001
Aku Peduli. Bagaimana dengan Anda?
2002
Stigma dan Diskriminasi
2003
Stigma dan Diskriminasi
2004
Perempuan, Gadis, HIV dan AIDS
2005
Hentikan AIDS. Jaga Janjinya
2006
Hentikan AIDS. Jaga Janjinya - Akuntabilitas
2007
Hentikan AIDS. Jaga Janjinya - Kepemimpinan
2008
Hentikan AIDS. Jaga Janjinya - Pimpin - Berdayakan - Berikan[7]
2009
Hentikan AIDS. Jaga Janjinya - Akses Universal dan Hak Asasi Manusia

STIGMA BURUK MASYARAKAT TENTANG HIV/AIDS

A
cquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.  Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Terkadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
Stigma di Masyarakat tentang HIV/AIDS
HIV/AIDS, sebuah kasus yang tidak lagi menjadi makanan baru bagi masyarakat Indonesia. Layaknya penyakit kejadian luar biasa yang menjadi perhatian akhir-akhir ini, kasus HIV/AIDS yang pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1987 juga menjadi suatu hal yang menggemparkan dan fenomenal di masyarakat. Ironinya, iklim kegemparan HIV/AIDS tidak menjadikan suatu motivasi bagi masyarakat untuk menanggulangi penyebaran wabah ini di Indonesia. Kegemparan tersebut justru melahirkan stigma di masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS atau yang biasa dikenal dengan istilah ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).

            Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya[1]. Stigma terhadap ODHA dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan penderita HIV/AIDS meliputi masyarakat dan media massa, sedangkan faktor internal adalah faktor yang berasal dari penderita itu sendiri. Kedua faktor tersebut interdependen, dalam arti baik faktor dari masyarakat, media massa, maupun pribadi saling mempengaruhi satu sama lain.
Stigma dari masyarakat muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS secara menyeluruh. Masyarakat mengetahui HIV/AIDS sebatas “penyakit ini menular dan penderitanya berbahaya”. Masyarakat boleh jadi telah mengenal atau mengetahui bahwa terdapat penyakit menular yang disebut HIV/AIDS dan telah mewabah di Indonesia, namun sebagian besar masyarakat masih belum memahami secara benar faktor penyebaran dan cara penanggulangannya. Adanya ketidakpahaman ini menyebabkan timbulnya sikap over protective terhadap ODHA, seperti diskriminasi dengan tidak mau bergaul dengan ODHA dan stigma bahwa penderita HIV harus dihindari.
Pemahaman yang setengah-setengah dan tidak menyeluruh tersebut timbul karena adanya disfungsi media massa. Media massa yang merupakan sumber informasi bagi masyarakat masih memberikan informasi yang kurang jelas. Pemberitaan yang muncul lebih didominasi bahaya HIV/AIDS dibandingkan upaya untuk mencegah penyebarannya. Adanya pemberitaan yang kurang lengkap ini menyebabkan masyarakat melakukan interpretasi yang salah dalam menyikapi kasus HIV/AIDS. Dampak lebih lanjut dari pemberitaan media massa yang kurang menyeluruh ini menyebabkan masyarakat terpengaruh secara mental untuk mendiskriminasikan penderita HIV/AIDS.
               Munculnya stigma di masyarakat diperkuat dengan perilaku yang timbul dari ODHA yang diakibatkan oleh masalah psikososial. Ketidakmampuan beradaptasi penderita HIV/AIDS terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya dapat mengakibatkan stress, frustasi sampai ke tingkat depresi[2]. Dampak tersebut dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengalaman dan keterampilan dokter yang melakukan kontak langsung dengan ODHA sehingga dokter kurang tepat dalam mengkomunikasikan berita tersebut kepada ODHA[3]. Segala macam faktor psikososial ini memperngaruhi tingkah laku ODHA sehingga mereka cenderung memilih untuk menutup diri dari masyarakat. Hal tersebut justru menambah stigma masyarakat dan memicu diskriminasi terhadap ODHA.
Stigma yang makin lama makin menguat tersebut memberikan dampak yang semakin buruk bagi ODHA. Masyarakat justru tergiring untuk mendiskriminasikan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fakta dapat kita lihat di masyarakat seperti pemecatan ODHA dari perusahaan. Sebenarnya tindakan ini menyalahi Keputusan Menakertrans No 68/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Kejadian yang cukup ironi juga terjadi di rumah sakit yang mana seharusnya rumah sakit adalah tempat acuan untuk mengambil sikap terhadap ODHA. Seperti pengakuan salah seorang teman penderita HIV/AIDS di Malang, Jawa Timur yang dikutip dari health.groups.yahoo.com, teman yang menderita HIV/AIDS tersebut ingin melakukan operasi penyakit namun ditolak oleh pihak rumah sakit karena ketidaksanggupan dokter dan pihak rumah sakit untuk mengganti peralatan rumah sakit yang digunakan dalam operasi. Secara implisit hal ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap ODHA.
Menyikapi kuatnya stigma dan diskriminasi dikarenakan kurang mengertinya masyarakat tentang penularan HIV/ AIDS, maka diperlukan adanya regulasi yang kuat. Pemerintah, LSM, dan aktivis AIDS hendaknya bekerja sama sebagai suatu sistem yang sinergis untuk menanggulangi kasus HIV/AIDS. Sistem tersebut bekerja sama mencerdaskan masyarakat secara menyeluruh mengenai HIV/AIDS mulai dari faktor penyebaran, dampak, cara untuk menanggulangi, dan sikap yang tepat dalam menyikapi HIV/AIDS.
Paradigma masyarakat yang salah tentang HIV/AIDS sesegara mungkin harus diubah. Selama ini masyarakat menjauhi ODHA karena tidak mengetahui cara penularan HIV/AIDS. Pada dasarnya terdapat tiga jalur utama penularan HIV/AIDS. Penularan pertama yaitu melalui hubungan seksual. Apabila salah satu pasangan mengidap HIV/AIDS maka secara otomatis HIV/AIDS akan menular pada pasangan seksnya. Salah satu faktor pemungkin mewabahnya HIV/AIDS yaitu makin bertambahnya jumlah penjaja seks dan pelanggannya. Dalam kaitannya dengan hal ini, pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan upaya penanggulangan wabah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. Pemerintah perlu membuat regulasi yang tegas untuk mengamankan perilaku berisiko tinggi tersebut dengan sosialisasi secara masif penggunaan kondom atau menutup praktik penjaja seks itu sendiri. Penularan yang kedua yaitu melalui darah yang terinfeksi HIV. Darah penderita HIV dapat ditularkan melalui transfusi darah, alat-alat bedah, jarum suntik, alat cukur, dan alat-alat lain yang memungkinkan adanya kontak darah. Dalam hal ini perlu adanya pengawasan yang cermat oleh PMI sebagai salah satu pihak yang mengelola proses transfusi darah dan juga pelayanan kesehatan lain seperti puskemas dan rumah sakit untuk mengindari adanya kontak darah. Pengawasan juga dilakukan terhadap alat-alat kesehatan yang digunakan untuk menghindari penggunaan alat tersebut lebih dari satu kali. Penularan ketiga yaitu melalui ibu yang mengidap HIV. Seorang ibu yang mengidap HIV/AIDS dapat menularkan HIV/AIDS kepada bayinya melalui plasenta.
               Untuk mensosialisasikan hal tersebut, perlu adanya Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA). Upaya penanggulangan HIV/AIDS tidak cukup hanya dengan penyuluhan secara sporadis dan insidental saja, namun perlu adanya gerakan nasional dengan mengerahkan segala sistem yang ada pada masyarakat untuk mendukung pengentasan HIV/AIDS di Indonesia. Dengan adanya Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA) yang berkelanjutan diharapkan mampu menyedot perhatian masyarakat sehingga penanggulan HIV/AIDS dapat berjalan dengan maksimal.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, salah satu subjek yang harus berperan aktif adalah media massa. Media massa diharapkan mampu memberikan informasi yang up to date kepada masyarakat, tidak hanya mengenai bahaya tetapi juga tentang penularan hingga pengobatan. Tentunya dalam menjalankan peran ini media massa harus memperhatikan kode etik pers yang berlaku. Tanggung jawab etik pers dalam liputan HIV/AIDS akan menyangkut sejauh mana liputan tersebut tidak terjerembab pada sensasionalisme, vulgarisme, dan stigmatisasi, dan berita yang tidak proporsional yang dengan mudah akan menimbulkan “kepanikan sosial”[4]. Media massa baik cetak maupun elektronik sedapat mungkin menghindari pemberitaan yang cenderung bersifat sensasional dan vulgar demi mengurangi stigma dan diskriminasi yang muncul dari masyarakat.
Adanya sensasionalisme, vulgarisme, dan stigmatisasi dalam liputan HIV/AIDS boleh jadi diakibatkan kurangnya keterampilan professional dari dalam tubuh media massa[5]. Untuk menyikapi hal tersebut, maka diperlukan adanya spesialisasi dan profesionalisme dalam media massa khususnya dalam bidang kesehatan. Wartawan maupun pekerja pers haruslah memahami seluk beluk HIV/AIDS sehingga dapat mentransfer informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat serta menghindari pemberitaan yang bersifat dugaan dan prasangka. Di samping itu, perlu diperhatikan pula pemberitaan dari sudut pandang penderita HIV/AIDS. Hal ini bertujuan untuk mengurangi sensasionalisme dan vulgarisme sehingga mampu mencegah munculnya stigma dan diskriminasi dalam masyarakat.
                   Salah satu fungsi media massa yaitu sebagai sarana pendidikan, tentunya harus diterapkan dalam pengentasan HIV/AIDS. Media massa diharapkan mampu mengurangi gap antara informasi kesehatan dengan perilaku yang ada di masyarakat. Melalui Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA), optimalisasi peran media massa dapat ditingkatkan. Setiap aspek media massa, baik cetak maupun elektronik, memiliki trik dan teknik tersendiri dalam pemberian informasi kepada masyarakat sehingga informasi tersebut tetap efektif untuk mencerdaskan masyarakat. Salah satu faktor yang perlu digarisbawahi yaitu kejelasan sasaran program intervensi tersebut. Media massa diharapkan tidak hanya menjangkau masyarakat yang melakukan perilaku berisiko saja seperti penjaja seks dan pelanggannya, namun juga seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya pencerdasan mengenai fenomena HIV/AIDS, stigma dan diskriminasi terhadap ODHA diharapkan dapat lenyap dan tergantikan oleh dukungan penuh dalam pengentasan HIV/AIDS.
Peran media massa tentu tidaklah menjadi sesuatu yang berarti jika tidak mendapatkan dukungan yang penuh dari pemerintah. Dikeluarkannya Kep. Pres RI Nomor 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS membuktikan bahwa pemerintah turut pula berupaya dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Namun, pembentukan KPA di tingkat nasional maupun daerah saja dirasa tidaklah cukup. Perlu adanya badan independen semacam komisi khusus untuk melayani konsultasi penderita HIV/AIDS. Komisi ini diharapkan mampu menampung dan mengcover setiap permasalahan yang dirasakan oleh ODHA dalam kaitannya dengan kondisi psikososial mereka. Komisi ini harus mampu bertindak proaktif dan tidak hanya sekedar reaktif dalam mendampingi ODHA. Tujuan komisi ini terpesifikasi khusus sebagai biro konseling yaitu memberikan pelayanan, konsultasi psikologis, dan memotivasi proses perawatan HIV/AIDS. Dengan begitu, ODHA diharapkan dapat semakin membuka diri pada masyarakat dan memacu dirinya sendiri untuk dapat keluar dari stigma dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat.
Penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA merupakan salah satu bagian terpenting dalam Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA). Dengan penghapusan stigma dan diskriminasi, proses preventif dan kuratif terhadap kasus HIV/AIDS menjadi lebih optimal. Untuk itu diperlukan adanya kerja sama yang terus menerus dari masyarakat, media massa, pemerintah, dan ODHA secara sistematis untuk menyukseskan Gerakan Nasional HIV/AIDS (GNHA) sehingga dapat menghilangkan stigma dan diskriminasi dan pada tujuan akhirnya mengentaskan Indonesia dari intaian wabah HIV/AIDS.

Selasa, 05 Juli 2011

Selamat Datang di Blog ini

Selamat datang di Blog saya yang baru, saya akan membagikan informasi menarik tentang berita, renungan, politik, hukum, jurnal serta seputar pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.